Berita Anime
Anime Tertua di Dunia
( posted on June, 20 2008 )
Siapa yang sangka, ternyata Anime telah ada semenjak tahun 1918, atau mungkin lebih tua lagi dari itu. Anime berumur 90 tahun ini ditemukan oleh Natsuki Matsumoto ketika ia sedang berjalan-jalan di toko barang antik di Osaka pada Juli tahun lalu. Film bisu berdurasi pendek ini merupakan anime tertua yang pernah ditemukan. Matsumoto tidak hanya menemukan satu film, tapi dua film anime sekaligus.
Kini kedua film anime tersebut telah berhasil dipulihkan oleh pusat perfilman nasional di Tokyo. Kedua anime itu adalah “Nakamura Katana”, dan “Urashima Taro”. “Nakamura Katana” adalah anime bisu berdurasi sekitar 2 menit dan bercerita mengenai seorang Samurai, sedangkan “Urashima Taro” bercerita mengenai seorang nelayan berdasarkan legenda jepang kuno.
Junichi Kouchi dan Seitaro Kitayama adalah dua orang yang telah menciptakan kedua anime tadi. Mereka dianggap sebagai pelopor dari Anime.
Kedua anime tersebut akan ikut mengambil bagian dalam festival film yang diselenggarakan April ini di pusat perfilman nasional di Tokyo.
Artikel Anime
Pengaruh Anime dan Manga di Indonesia
( Posted on June, 20 2008 )
Anime, abreviasi dari kata "animation", dalam kamus bahasa Inggris dideskripsikan sebagai film animasi bergaya Jepang atau film animasi yang diproduksi oleh Jepang itu memang populer di Indonesia. Popularitasnya di Indonesia itu sebenarnya sudah dimulai pada awal dekade 1980-an ketika video betamax sedang menjamur.
Penggemar anime yang lahir pada dekade 1960-an dan 1970-an mungkin masih sangat ingat anime bertajuk "Voltus Five", "God Sigma" "Candy-Candy" dan "Ikkyu-san" yang begitu populer pada dekade 1980-an. Namun popularitasnya di Indonesia saat itu masih terbatas karena beredar dalam format video betamax, sedangkan pada waktu itu tidak semua orang bisa membeli perangkat pemutar video betamax.
Pada dekade 1990-an, anime dapat dikatakan benar-benar "booming" karena pada waktu itu stasiun televisi Indonesia mulai memutar beberapa serial anime populer sehingga dapat disaksikan siapapun yang memiliki televisi. Indosiar yang baru lahir pada pertengahan 1990-an juga tidak mau ketinggalan untuk menayangkan anime. Malah anime-anime yang ditayangkan Indosiar saat itu sangat meledak di Indonesia.
Kalian semua pada dekade tersebut tentu saja masih ingat tayangan serial anime yang sangat populer, "Sailor Moon" dan "Born to Cook". Dibandingkan dengan stasiun-stasiun televisi lain di Indonesia, mungkin dapat dikatakan hanya Indosiar yang masih setia dan konsisten menayangkan anime di layar kaca hingga kini. Sebut saja "Digimon", "Inuyasha", "Gundam Seed", "Dragon Ball", "Detective Conan", "GTO", "Naruto" dan masih banyak anime yang pernah dan sedang ditayangkan di Indosiar.
Popularitas anime pun makin menggila setelah VCD dan DVD anime bajakan begitu mudah didapatkan di seantero Indonesia, tidak hanya dijual di pusat-pusat perbelanjaan, bahkan mudah didapatkan melalui internet. Para otaku, sebutan untuk penggemar anime dan manga, di Indonesia pun memberikan andil atas populernya genre tersebut dengan membentuk berbagai komunitas baik di dunia nyata ataupun di internet seperti milis dan forum.
Dalam artikel Michael O'Connell "A Brief History of Anime" dalam buku "Otakun 1999 Program Book" (1999), bahwa anime sebagai film animasi telah berkembang di Jepang sejak awal abad ke-20, tetapi dalam bentuk yang sekarang, baru dimulai pada dekade 1960-an ketika Osamu Tezuka, pembuat komik yang juga bapak manga Jepang, tertarik pada animasi setelah terlibat sebagai konsultan untuk film animasi buatan Toei "Alakazam the Great" (1960) yang berdasarkan komiknya.
Sebelum dekade 1960-an, gaya film-film animasi Jepang masih dipengaruhi oleh animasi Barat terutama animasi produksi Walt Disney. Menurut O'Connell, Tezuka membawa gaya baru dalam pembuatan anime terutama pada desain karakter dan juga penggunaan ekspresi emosi yang kaya. Desain karakter Osamu Tezuka yang menyederhanakan karakter wajah, pembuatan mata yang besar dan penggunaan ekspresi emosi pada karakter anime dan manga itulah membawa pengaruh dahsyat pada industri anime Jepang setelah Perang Dunia II.
Karya Osamu Tezuko yang fenomenal tentu saja adalah "Astro Boy". Anime "Astro Boy" (1966) itu diangkat dari komiknya bertajuk sama yang dibuat pada dekade 1950-an. Gaya anime yang berdasarkan teknik ciptaan Osamu Tezuko makin berkembang setelah genre anime tidak lagi terbatas untuk konsumen anak-anak, tapi juga melebar ke berbagai genre seperti yang dikenal sekarang antara lain genre fiksi ilmiah, drama percintaan, horor dan aksi laga yang lebih banyak ditujukan pada konsumen usia remaja dan dewasa.
Lompatan terbesar yang dibuat di dunia anime ketika serial anime di televisi berjenis fiksi ilmiah meledak di pasaran. Hal ini terjadi berkat serial animasi "Uchu Senkan Yamato " (di Amerika dikenal sebagai "Space Battleship Yamato") karya Leiji Matsumoto mampu menangkap imanjinasi penontonnya. Leiji Matsumoto yang dianggap sebagai bapak anime fiksi ilmiah juga menginspirasi banyak anime bergenre fiksi ilmiah populer antara lain "Uchu Kaizoku Captain Harlock" dan "Galaxy Express 999" (1999).
Selain itu subgenre fiksi ilmiah yaitu anime mecha (robot) yang menampilkan robot-robot raksasa yang dipiloti manusia yang sebenarnya sudah ada sejak Shotaro Kaneda menciptakan "Tetsujin 28" pada 1966 yang kemudian disusul dengan serial populer "Voltus V". Namun pada tahun 1979 subgenre tersebut mendapat darah baru setelah mengalami interpretasi baru dengan pembuatan serial anime bertajuk "Mobile Suit: Gundam" yang disusul dengan berbagai "spin off" (keturunan) seperti "Gundam X", "Gundam Seed", "Gundam Destiny" dan banyak lain.
Begitu pula dengan genre-genre lainnya yang juga populer seperti genre drama percintaan "Hana Yori Dango", genre horor " Angel of Darkness" dan sebagainya. Bicara tentang anime, juga tidak bisa dilepaskan dari manga. Di Jepang, pengertian anime sendiri tidak hanya mengacu pada animasi, namun juga mengacu pada manga. Terlebih lagi sebagian besar anime Jepang sering diangkat dari manga (komik Jepang), walau anime juga diangkat dari novel, game atau cerita rakyat Jepang. Selain itu, juga ada anime populer yang kemudian dibuatkan manga seperti serial "Gundam".
Manga dalam bentuk modern telah dimulai sejak Perang Dunia dan juga memiliki akar sejarah yang sangat tua sejak awal kesenian Jepang, namun memiliki momentum sangat berarti setelah Osamu Tezuka menciptakan karya manga fenomenal "Astro Boy" pada tahun 1951. Tidak heran jika dalam perkembangannya teknik pembuatan manga sangat terpengaruh oleh gaya Osamu Tezuka karena juga memiliki karakteristik sama dengan anime seperti desain karakter wajah dan mata yang bulat besar.
Selain itu, teknik Tezuka dalam membuat manga dengan pendekatan sinematografi mampu menyajikan kisah yang menggugah emosi pembacanya dibandingkan dengan komik Barat yang cenderung datar dari sisi emosi. Dalam proses tersebut, Tezuka telah mengajari dan menginspirasi para artis pembuat manga bagaimana memvisualisasikan dan membuat komposisi sebuah kisah manga yang dinamis dan selalu bergerak. Proses itu juga terlihat dalam pembuatan anime yang berdasarkan gambar-gambar yang dibuat tangan, walau kini dalam perkembangannya banyak menggunakan teknologi grafis komputer.
Juga tidak boleh dilupakan jasa artis wanita Machiko Hasegawa yang menciptakan manga "Sazae-san" sejak tahun 1946. Kisah manga karya Machiko Hasegawa yang memfokuskan pada kehidupan wanita inilah menginspirasikan manga genre shojo (drama percintaan) untuk segmen pembaca gadis remaja. Tidak heran jika genre manga shojo untuk remaja wanita hingga kini pun sangat terlihat pengaruh gaya Machiko Hasegawa seperti desain karakter wajah baik pria maupun wanita yang begitu lembut dan cantik, bentuk mata yang sayu dan bulu mata yang panjang.
Nah, seperti yang telah dikatakan di atas bahwa anime dan manga kini sangat populer di Indonesia sehingga mengalahkan komik dan animasi dari belahan dunia barat yang sempat berjaya seperti Tintin atau Superman dan Batman. Anda bisa melihat bagaimana banyaknya manga yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia di toko-toko buku Indonesia seperti manga "Kungfu Boy", "Detecive Conan" dan sebagainya.
Begitupula penggemar manga juga ingin menyaksikan adaptasi manga dalam bentuk anime. Popularitas tersebut mau tidak mau pun membawa perubahan di Indonesia seperti munculnya komunitas penggemar manga dan anime. Selain itu, juga terlihat bagaimana penggemar anime dan manga di Indonesia mengekspresikan diri dalam "cosplay" yaitu berdandan dengan kostum yang berdasarkan karakter-karakter anime dan manga kesayangan mereka.
Di sisi lain populernya manga di Indonesia itu juga membawa pengaruh pada proses pembentukan komik karya Indonesia, karena secara tidak langsung banyak generasi komikus muda di Indonesia baik tanpa sadar maupun sadar, terpengaruh oleh gaya aliran Jepang (manga). Tidak heran jika bermunculan sekolah-sekolah dan kursus menggambar gaya manga di Indonesia untuk memenuhi keinginan orang-orang yang berminat menjadi ilustrator komik ala Jepang, baik yang dikelola secara profesional dan mahal hingga kursus yang berbiaya murah.
Adult Anime
( Posted on June, 20 2008 )
Taken from beritaseni.com
Sebagai sebuah karya seni maupun komoditi komersil animasi dari Jepang telah sangat sukses dalam menancapkan pengaruhnya ke industri hiburan di berbagai belahan dunia. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa animasi Jepang telah menjadi bagian dari popular culture di dalam masyarakat. Namun seiring dengan pengakuan akan kualitasnya, animasi Jepang juga banyak disorot karena isi yang terkandung di dalamnya. Ada stereotip yang menempel pada animasi Jepang bahwa “Japanese animation is all about sex or violence”. Memang animasi di Jepang berkembang dalam arus yang berbeda dengan animasi-animasi seperti dari barat, baik dalam soal gaya, maupun isinya, yang cenderung terbuka.
Kita bisa mengkritisi hal tersebut sebagai hal positif maupun negatif dari dua sudut pandang. Yang pertama, stereotip yang menempel pada animasi Jepang tersebut mematahkan stereotip lainnya yang sangat bertolak belakang, yaitu bahwa animasi itu hanya untuk ditonton oleh anak-anak. Secara positif itu bisa kita pandang sebagai bukti tegas bahwa animasi bisa menjadi media dengan potensi yang lebih luas. Yang kedua masih mengacu pada perluasan makna animasi, namun memandangnya secara negatif; bahwa jika mengacu pada fakta bahwa animasi Jepang banyak mengandung tema-tema yang berat dan dewasa, maka animasi Jepang, betapapun populernya, tidak pantas ditonton oleh anak-anak. Hal inilah, yang menjadi kritik utama dari banyak pihak terhadap penayangan animasi Jepang di televisi [diantaranya, masyarakat Indonesia].
Masalah tersebut sudah lama disadari oleh kaum professional maupun masyarakat awam, dan sudah banyak argumen yang mengkritik animasi Jepang selain mempelajari kepopulerannya. Namun disamping itu, sepertinya tidak ada pihak yang mampu mengintervensi penyebaran animasi Jepang. Animasi Jepang yang berkembang sejak tahun ’70-an, kini kepopulerannya telah menyebar baik di Asia, Amerika maupun Eropa, dan kini menjadi salah satu media promosi bagi kebudayaan jepang serta komoditi ekspor yang sangat menguntungkan ke seluruh dunia. Sudah banyak juga studi tentang animasi Jepang seperti yang dilakukan Helen McCarthy, Susan J. Napier, Antonia Levi, Gilles P, dll.
Indonesia tidak ketinggalan dalam mengikuti tren anime. Namun rupanya kepopuleran anime tersebut tidak diimbangi dengan pemahaman tentang anime itu sendiri. Anime masih sering dikritik karena tidak mendukung pendidikan dan perkembangan moral anak-anak. Padahal konflik tersebut seharusnya tidak perlu terjadi jika baik distributor maupun penonton anime di Indonesia memahami bahwa animasi tidak hanya diperuntukkan bagi ank-anak, khusunya di Jepang. Dan dari sinilah penulis akan memulai pembahasan bagaimana animasi berkembang dan diterima secara unik di Jepang, menjadikan anime sebagai bagian dari pop culture tidak saja di Jepang, tapi sejalan dengan globalisasi, telah menjadi bagian dari pop culture dunia. Tulisan ini akan mencoba menjawab:
1. Mengapa/bagaimana di Jepang animasi bisa berkembang menjadi sebuah media yang terbuka dalam mengekspresikan ide secara luas seperti halnya novel, dan juga mempresentasikan tema-tema yang dewasa.
2. Bagaimana sebaiknya animasi-animasi dengan isi dewasa tersebut direspon oleh masyarakat
Definisi dan karakteristik anime
Animasi Jepang lebih dikenal dengan istilah anime. Istilah tersebut sesungguhnya merupakan kata serapan bahasa Jepang terhadap kata animation, dan mengadopsi arti yang sama [istilah anime mulai digunakan sekitar tahun 1970-an]. Namun dalam perkembangannya, istilah tersebut lebih populer bagi kalangan non-Jepang untuk menyebut animasi-animasi yang berasal dari Jepang. Meskipun begitu perlu diketahui bahwa bagi masyarakat Jepang istilah anime tersebut sebetulnya mencakup semua jenis animasi, termasuk, misalnya saja, animasi Disney.
Anime memiliki karakteristik visual yang sangat bervariasi dan tidak memiliki gaya yang baku dan digunakan oleh semua anime. Namun secara umum anime Jepang dapat dikenali dengan penggambaran tokoh fisik yang berlebihan/non-realistik, seperti mata yang besar ataupun gaya rambut yang liar. Umumnya penggambaran tubuh karakter tidak mengikuti proporsi normal. Karakteristik visual tersebut sebetulnya sejalan dengan gaya ilustrasi yang umum digunakan di Jepang, termasuk manga [komik]. Gaya semacam itu, walaupun sesungguhnya tidak dipatenkan oleh Jepang, namun sudah menjadi gaya yang identik dengan Jepang. Gaya itu dipopulerkan oleh Ozamu Tezuka [1928-89], seorang mangaka (komikus) dan animator Jepang legendaris yang dijuluki God of manga and anime, yang pada awalnya sebetulnya terpengaruh oleh gaya kartun-kartun barat. Ia menganggap ukuran mata yang besar dapat mengekspresikan emosi yang lebih kuat. Gaya semacam itu ia tunjukkan dalam manga-manga karyanya, yang kemudian mempengaruhi banyak mangaka untuk menggunakan gaya serupa.
Selain dalam gaya ilustrasinya, kedekatan anime dan manga juga terlihat dari penggunaan bahasa visual yang khas digunakan dalam manga untuk mengekspresikan mood maupun pikiran tokoh-tokohnya (penggunaannya sangat kental terutama pada genre komedi) dalam variasi yang sangat banyak, dibandingkan animasi barat. Beberapa anime menyertakan teks di background. Ada juga yang menyertakan balon kata sebagai cara untuk memvisualisasikan ekspresi karakternya dan masih banyak lagi.
Ciri khas anime lainnya adalah dominannya penggunaan tekhnik animasi tradisional menggunakan cel. Sampai awal 90-an hampir semua anime masih menggunakan teknik animasi tradisional. Ketika tekhnologi digital masuk ke dalam proses pembuatan animasi sekitar pertengahan ‘90-an, studio-studio mulai memproduksi anime mengikuti tren tersebut, walaupun masih ada beberapa studio seperti Ghibli yang masih setia terhadap animasi tradisional pada sebagian besar produknya, dan hanya menggunakan tekhnologi digital sebagai pelengkap. Poin penting dalam anime menurut Susan J. Napier:
Merupakan sebuah karya seni kontemporer Jepang yang kaya dan menarik, dengan kekhasan estetika naratif dan visual, yang berakar pada budaya tradisional Jepang dan menjangkau perkembangan seni dan media terkini.
Dengan variasi subjek dan materinya, anime adalah sebuah cermin yang berguna pada masyarakat kontemporer Jepang.
Anime merupakan fenomena global, baik sebagai kekuatan budaya maupun komersil.
Membawa pencerahan pada isu yang lebih luas pada hubungan antara budaya lokal dan global. Sebagai sebuah aksi untuk melawan hegemoni dari globalisasi. Anime tetap memiliki akar ke-Jepang-annya, tetapi ia juga mampu mempengaruhi lebih pada wilayah di luar wilayah asalnya. Memiliki gaya visual yang khas, seperti yang ditunjukkan pada anime tahun 1970-an yang memiliki tracking shots, pengambilan gambar yang panjang bagi pembangunan sebuah shot, panning yang ‘berlebihan’, sudut pandang kamera yang tidak biasa serta pemanfaatan extreme close up.
Sebagai karya seni naratif, sebuah medium dengan elemen-elemen visual yang khas, dikombinasikan dengan perpaduan dari struktur yang generik, tematik, dan filosofis untuk menghasilkan sebuah dunia estetika yang unik.
Animasi dewasa sendiri dapat dicirikan sebagai animasi yang baik unsur visual, audio, maupun ceritanya mengandung tema-tema atau membawakan adegan, atau memperdengarkan materi-materi seks, kekerasan, serta memuat topik-topik khusus tertentu [anggaplah, politik misalnya] yang secara umum tidak menjadi konsumsi anak-anak. Osamu Tezuka sudah membuat anime dengan target penonton dewasa seperti A Thousand and One Night pada tahun 1969. Menilik berbagai elemennya, anime seperti Akira (1988) dapat digolongkan sebagai animasi untuk dewasa. Secara tematik Akira mengandung berbagai elemen yang berat seperti psychokinetic, korupsi, kerusuhan, revolusi, cyberpunk/transhumanism, pendidikan, degradasi moral, religiusitas, dsb. Plot cerita rumit disertai berbagai flash back. Berbagai adegan dipenuhi kekerasan, nudity, serta bahasa kasar. Contoh lainnya antara lain Ah! My Goddess, Ghost in the Shell, Tekkon Kinkreet, Cowboy Beebob, Perfect Blue, Millenium Actress, Paprika, Macross, Neon Genesis Evangelion, Princess Mononoke, Serial Experiment Lain, dll
Sebagai sebuah budaya populer anime memiliki jangkauan yang luas, meliputi segala aspek di masyarakat dan budaya, tidak hanya trend yang paling kontemporer dan terbaru, tetapi juga sejarah, religi, filosofi dan politik. Dalam perkembangannya anime telah digunakan oleh animator-animator Jepang untuk mengeksplorasi berbagai macam gaya, ide cerita, serta tema, dari yang ditujukan untuk anak-anak, remaja, hingga dewasa. Genre-genre utama yang banyak muncul dalam anime antara lain:
-Action/Adventure: Mengutamakan fokus pada pertarungan, perang, maupun persaingan fisik. Genre ini juga dikuatkan oleh seni/teknik-teknik bela diri, senjata, maupun berbagai macam aksi dari yang realistik hingga mustahil. Contohnya antara lain; Naruto, One Piece, Samurai X, Dragon Ball, Bleach
- Drama: membangun cerita lewat pengembangan karakter dan tema-tema yang emosional, serta kekomplesan hubungan antar tokoh. Contohnya Fushigi Y?gi, Kare Kano
-Game Based: cerita berpusat seputar permainan-permainan. Contohnya Yu-Gi-Oh!, Hikaru no Go, Beyblade, Duel Master
-Horror: menggunakan tema-tema supernatural yang gelap. Contohnya Vampire Hunter D series or Higurashi no naku kuru ni.
-Science fiction: Fokus pada hal-hal futuristik, khususnya tekhnologi-tekhnologi di masa depan. Bisa juga mencakup penelitian yang berkaitan dengan sains dimasa kini dan penemuan-penemuan yang dihubungkan dengan kebutuhan manusia. Contohnya: Ghost in the Shell, Akira, Paprika, atau Royal Space Force: The Wings of Honneamise
Anime juga dapat dikategorikan menurut target penontonnya, antara lain:
-Shoujo: Anime shoujo diperuntukkan untuk penonton remaja perempuan. Contohnya: Fruits Basket, Sailor Moon, Cardcaptor Sakura.
-Shonen: Diperuntukkan bagi remaja laki-laki.Contohnya: Dragon Ball Z, Naruto, Bleach, Black Cat, Digimon .
-Seinen: Target penontonnya adalah laki-laki dewasa. Contohnya: Oh My Goddess!, Cowboy Bebop , Akira
-Josei: Target penontonnya wanita dewasa. Examples: Gokusen or Honey and Clover, Hataraki Man
-Kodomo is Bahasa Jepang yang artinya “anak-anak”. Sesuai namanya, anime ini ditujukan untuk penonton anak-anak contohnya: Hello Kitty, Hamtaro.
Sejarah perkembangan anime di Jepang
Animasi menjadi populer di Jepang pada abad 20 sebagai media alternatif dalam penceritaan selain live action. Fleksibilitas variasi penggunaan teknik-teknik animasi memberi kesempatan bagi para pembuat film di Jepang untuk mengeksplorasi bermacam ide, karakter, setting yang sulit dilakukan dalam format live action dengan biaya yang terbatas. Pada era ’70-an popularitas manga yang menanjak memberi para animator Jepang peluang untuk mengadaptasikannya ke dalam industri animasi. Anime dapat digolongkan pada budaya populer [di Jepang] atau pada sub-kultur [di Amerika Serikat]. Sebagai sebuah budaya populer, anime telah dilihat sebagai karya seni intelektual yang menantang.
Sejarah karya animasi di Jepang diawali dengan dilakukannya eksperimen pertama dalam animasi oleh Shimokawa Bokoten, Koichi Junichi, dan Kitayama Seitaro pada tahun 1913. Kemudian diikuti film pendek [hanya berdurasi sekitar 5 menit] karya Oten Shimokawa yang berjudul Imokawa Mukuzo Genkanban no Maki tahun 1917. Pada saat itu Oten membutuhkan waktu 6 bulan hanya untuk mengerjakan animasi sepanjang 5 menit tersebut dan masih berupa “film bisu”. Karya Oten itu kemudian disusul dengan anime berjudul Saru Kani Kassen dan Momotaro hasil karya Seitaro Kitayama pada tahun 1918, yang dibuat untuk pihak movie company Nihon Katsudo Shashin [Nikatsu].
Pada tahun 1927, Amerika Serikat telah berhasil membuat animasi dengan menggunakan suara [pada saat itu hanya menggunakan background music]. Jepang kemudian mengikuti langkah itu dan anime pertama dengan menggunakan suara musik adalah Kujira [1927] karya Noburo Ofuji. Sedangkan anime pertama yang “berbicara” adalah karya Ofuji yang berjudul Kuro Nyago [1930] dan berdurasi 90 detik. Salah satu anime yang tercatat sebelum meletus Perang Dunia II dan merupakan anime pertama dengan menggunakan optic track [seperti yang digunakan pada masa sekarang] adalah Chikara To Onna No Yononaka [1932] karya Kenzo Masaoka.
Dalam tahun 1943 Masaoka bersama dengan seorang muridnya, Senoo Kosei, mereka membuat kurang lebih lima episode anime berjudul Momotaro no Umiwashi [Momotaro, the Sea Eagle]. Anime yang ditayangkan ini merupakan anime Jepang pertama dengan durasi lebih dari 30 menit [short animated feature film]. Mendekati akhir dari Perang Pasifik, yaitu pada bulan April 1945, Senoo telah membuat dan menampilkan kurang lebih sembilan episode anime yang merupakan karya besarnya, Momotaro: Umi no Shinpei [Momotaro: Devine Soldier of the Sea]. Anime ini merupakan anime Jepang pertama yang berdurasi panjang, yaitu sekitar 72 menit [animated feature film]. Keduanya adalah anime propaganda yang mengadaptasi dari cerita legenda terkenal Jepang, Momotaro, dan merupakan salah satu dari anime terpopuler pada masa tersebut.
Setelah Perang Dunia II, industri anime dan manga bangkit kembali berkat Osamu Tezuka. Ia yang pada saat itu baru berusia sekitar 20 tahun membuat Shintakarajima(New Treasure Island) yang muncul pada tahun 1947. Hanya dalam beberapa tahun saja, Tezuka kemudian menjadi sangat terkenal. Ketika habis masa kontraknya dengan Toei pada tahun 1962, Tezuka kemudian mendirikan Osamu Tezuka Production Animation Departement, yang kemudian disebut dengan Mushi Productions dengan produksi pertamanya film pendek berjudul Aru Machi Kado no Monogatari [1962]. Produk Mushi Production yang terkenal adalah Tetsuwan Atom. Namun Tetsuwan Atom bukanlah animasi televisi buatan lokal pertama yang ditayangkan. Tahun 1960 adalah pertama kalinya ditayangkan anime TV di Jepang, yaitu Mittsu no Hanashi [Tree Tales] – The Third Blood yang merupakan anime TV Special. Dilanjutkan dengan penayangan serial anime TV produksi Otogi-Pro berjudul Instant Story pada tanggal 1 Mei 1961 di stasiun televisi Fuji [Fuji Terebi]. Walaupun hanya berdurasi 3 menit serial ini cukup mendapat popularitas serta bertahan hingga tahun 1962. Penayangan anime tersebut merupakan merupakan tanda bagi kelahiran anime TV Series produksi Jepang yang pertama. Meski demikian, Tetsuwan Atom adalah anime pertama yang ditayangkan secara reguler. Acara ini sangat terkenal bahkan sampai ke beberapa negara di luar Jepang [di Amerika Tetsuwan Atom dikenal sebagai Astro Boy].
Sekitar tahun 1960-an, anime di televisi kebanyakan masih ditujukan untuk anak-anak. Materi cerita yang disajikan masih berkisar dalam kebaikan melawan kejahatan dan sesuatu yang lucu. Meski demikian dalam beberapa anime seperti 8-Man, diceritakan bahwa tokoh utamanya mati terbunuh kemudian dihidupkan kembali sebagai cyborg atau bahkan Mach Go Go Go dengan plot yang agak mendalam tetapi semua masih tetap menitikberatkan pada pertentangan antara kebaikan dan kejahatan.
Perubahan baru mulai tampak terjadi pada era 1970-an. Anime yang diangkat dari karya mangaka dengan nama Monkey Punchyaitu Lupin Sansei [Lupin III] menjadi anime yang ditujukan bagi penonton dewasa dengan menyajikan humor-humor dewasa dan slapstik. Acara televisi ini ternyata sangat digemari sehingga muncul dalam bentuk film dan bahkan serial televisinya pun dibuat menjadi 2 sekuel.
Memasuki era 80-an, anime semakin digemari dan semakin banyak produser film yang berusaha memenuhi keinginan masyarakat. Pertumbuhan ini semakin ditunjang dengan munculnya kaset video sebagai media. Dengan adanya teknologi VCR, masyarakat bisa memperoleh anime kesayangan mereka dalam bentuk video. Hal inilah yang kemudian mendorong munculnya versi video sebuah anime yang langsung dijual kepada masyarakat tanpa harus ditayangkan di televisi terlebih dahulu. [Dikenal dengan istilah OVA - Original Video Animation atau OAV - Original Animated Video].
Pada era tersebutlah anime-anime dewasa mulai bermunculan. Salah satu karya yang booming pada masa itu adalah karya Katsuhiro Otomo, Akira [1988]. Walaupun dalam lingkup domestic Akira tidak menjadi box office, namun di luar Jepang Akira membawa kepopuleran anime dan menjadi terobosan baru baik dari segi tekhnik animasi maupun konten ceritanya. Anime lain yang sukses besar diera ’80-an adalah Kaze no Tani no Nausicaa(1984) karya Hayao Miyazaki. Anime ini mengangkat tema lingkungan dalam balutan setting yang fantasikal, dan didukung oleh World Wide Fun for Nature. Karya Miyazaki yang lain, Kiki’s Delivery Service (1989) tidak hanya meraih keuntungan komesil yang besar, tapi juga menandai awal kerja sama Studio Ghibli dengan Walt Disney, yang sejak itu mendistribusikan animasi-animasi produksi Ghibli dibawah naungan Buena Vista entertaiment.
Tema historis juga diangkat oleh animator-animator Jepang, seperti Keiji Nakazawa mengangkat tema korban Hiroshima dengan judul Hadashi no Gen yang diangkat menjadi anime pada tahun 1983 dengan sutradara Masaki Mori. Salah satu anime terkenal lain yang mengangkat tema serupa adalah Hotaru no Haka [Grave of the Fireflies]. Dengan bermunculannya anime-anime dengan tema yang kompleks dan mendalam, maka anime telah menembus batasan “hanya untuk anak-anak” dan telah menjadi tontonan bagi berbagai macam tingkat usia pemirsa.
Memasuki 1990-an, banyak bermunculan anime-anime yang menarik secara intelektual, seperti melalui serial tv yang dianggap provokatif : Neon Genesis Evangelion karya Hideaki Anno. Pada tahun 1995 Ghost in the Shell dirilis dan disorot banyak kritik atas pendalaman filosofisnya yang berat dan visualnya yang merupakan perpaduan tekhnik animasi cel dengan komputer. dan juga Mononoke Hime karya Hayao Miyazaki, membuat anime makin dikenal di pasar internasional.
Sejak era 90-an tersebut anime telah menyebar secara luas diluar Jepang. Dan memasuki abad 21, anime semakin membuktikan kualitasnya dengan diraihnya berbagai penghargaan internasional, didominasi oleh animasi studio Ghibli yang disutradarai Hayao Miyazaki. Spirited Away karya Hayao Miyazaki meraih Academy Award pada tahun 2001 untuk kategori Best animated Feature. Disusul film Miyazaki berikutnya, Howl’s Moving Castle (2004) yang dinominasikan untuk kategori yang sama pada 78th Academy Award.
Masyarakat Jepang dan anime
Masyarakat Jepang mengembangkan animasinya berdasarkan tradisi budaya tinggi, yang dipengaruhi oleh seni tradisional Jepang dan tradisi artistik dunia pada sinema dan fotografi di abad 20. Anime juga melakukan eksplorasi pada isu-isu kontemporer yang kompleks, yang mampu mencapai kalangan penonton yang lebih luas, dari anak-anak hingga dewasa.
Kita dapat memahami latar belakang perkembangan anime dewasa di Jepang melalui dua sudut pandang. Yang pertama adalah salah satu alasan kuatnya penggunaan animasi sebagai media ekspresi adalah karena kepopuleran media tersebut didalam masyarakat Jepang. Dan yang kedua adalah bahwa tema-tema berat/elemen-elemen dewasa yang terkandung dalam anime sesungguhnya merupakan cerminan perjalanan sejarah dan kebudayaan bangsa Jepang.
1. Kepopuleran anime dalam masyarakat Jepang
Pandangan yang pertama mungkin bisa dikatakan masih terlalu bias, karena sekalipun benar bahwa anime mendapatkan tempat khusus di industri hiburan, namun hal itu tidak berarti bahwa semua orang Jepang memandang tinggi media animasi. Istilah otaku (semacam penggemar fanatik, dalam hal ini, terhadap anime dan manga) mempunyai konotasi negatif dalam masyarakat Jepang. Alasan-alasan historis maupun kultural di balik popularitas anime sangatlah kompleks. Namun kita bisa mengaitkannya dengan budaya manga untuk mencari tahu asal muasal kepopuleran anime bagi masyarakat Jepang. Manga dan anime, keduanya berkembang di dalam masyarakat kontemporer Jepang dan saling mempengaruhi satu sama lain. Dan keduanya bisa dibilang berdampak luas dalam berbagai bidang sosial. Frederik L. Schodt, penulis buku Manga! Manga! the World of Japanese Comics serta Dreamland Japan:Writings on Modern Manga, mengatakan, “Jepang adalah negara pertama di dunia di mana komik dapat menjadi sebuah media ekspresi yang sebenarnya.”
Biasanya anime dibuat berdasarkan cerita-cerita yang muncul pertama kali dalam bentuk manga, walaupun ada semacam perbedaan visi diantara kedua format tersebut. Manga dengan format cetaknya lebih seperti ekspresi pribadi illustratornya, sementara anime yang mengadaptasinya lebih untuk komersialitas [terutama pada anime-anime serial adaptasi]. Memang ada juga anime baik layar lebar atau televisi yang juga mengusung idealismenya sendiri.
Dari fakta tersebut, dapat dilihat bahwa industri menjadi salah satu faktor yang terus menggaungkan anime sebagai media populer. Dua media tersebut saling menguatkan satu sama lain, yang akan berdampak pada penikmatnya. Anime yang diadaptasi dari manga, membawa variasi format yang berbeda untuk judul yang sama, yang target utamanya tentu saja adalah pembaca manganya. Hal itu akan memberikan semacam stimulasi bagi penontonnya untuk terus mengkonsumsi produk dari suatu judul, baik itu manga, anime, ataupun merchandise.
Para animator yang ada di Jepang saat ini, tentunya juga terbawa dalam arus yang sama. Mereka yang pada masa kanak-kanak atau remaja menikmati anime atau manga pada era 60-an atau 70-an, banyak yang kemudian mencoba menjadi bagian dari dunia itu [Di Jepang mangaka adalah profesi yang sangat wajar, tidak seperti di Indonesia]. Demikianlah siklus tersebut terus berlanjut sampai sekarang.
Di luar hubungannya dengan industri, kepopuleran manga dan anime bisa diasumsikan sebagai perwujudan budaya gambar yang mengakar dalam masyarakat. Secara tradisional budaya Jepang bisa dikatakan piktosentris diperlihatkan dengan penggunaan karakter dan ideogram, dan anime dan manga dengan mudahnya masuk dalam budaya visual kontemporer. Dalam bentuk modernya, manga mulai popular setelah perang dunia II, namun memiliki sejarah yang panjang dan kompleks dalam kesenian Jepang. Schodt menunjuk gambar illustrasi dari era 1200-an yang menceritakan suatu cerita secara terjukstaposisi, serta ukiyo-e [gambar cetakan diatas kayu] dan shunga [gambar erotik] sebagai bentuk awal atau bagian dari sejarah manga.
2. Tema-tema dalam anime sebagai bagian dari sejarah Jepang
Anime kini tidak lagi murni Jepang, tetapi juga terpengaruh oleh budaya barat. Namun anime tetap memiliki perbedaannya sendiri. Kandungan anime sangat spesifik meliputi budaya, isu, dan ikon yang berakar dari setting yang historis dan aktivitas sehari-hari. Bisa juga sebuah anime memperlihatkan setting budaya dari luar Jepang, atau pencampuran budaya antara Jepang dan non-Jepang. Anime [dan juga manga] kerap menggunakan karakter-karakter non-Jepang yang terlihat sebagai orang Barat, dengan penampilannya yang pirang, tetapi tetap dikategorikan sebagai gaya anime. Mamoru Oshi [sutradara dari Ghost in the Shell, Patlabor The Movie] pernah mengatakan bahwa anime adalah ‘dunia yang lain’. Dia berbeda dari realitas Jepang masa kini, tetapi lebih mertujuk pada dunia yang lain [isekai].
Sejarah panjang Jepang sendiri juga terekspresikan dalam jangkauan mode, tema dan penggambarannya dalam anime. Salah satunya contohnya adalah seringnya anime membawa suasana chaos atau kekacauan di masyarakat. Napier mengemukakan bahwa hal itu merupakan akibat dari trauma masa lalu bangsa Jepang pada masa perang dunia II. Bom atom yang dijatuhkan di kota Hiroshima dan Nagasaki, serta mimpi buruk yang kemudian mengikutinya memberikan jalan bagi kemunculan tema-tema apokaliptik ini. Akhir dunia (kiamat) menjadi salah satu elemen penting dalam budaya visual dan cetak pada era Jepang pasca perang. Dalam tema-tema seperti ini, walaupun beberapa anime memiliki kandungan yang positif tentang harapan dan kelahiran kembali, kebanyakan anime lainnya bergerak pada tema-tema yang lebih gelap, memusatkan perhatiannya pada kehancuran masyarakat dan bahkan planet ini sendiri.
Tidak hanya tragedi bom atom dan kondisi menakutkan yang mengikutinya yang mengarah pada tema ini. Ada beberapa faktor lainnya , baik yang spesifik secara budaya ataupun spesifik untuk abad ke 20 yang memberikan kontribusi pada kelahiran tema-tema gelap dalam anime. Di antaranya adalah meningkatnya aspek keterasingan pada masyarakat urban di era industrialisasi, perbedaan yang semakin mencolok antar generasi dan peningkatan tensi antar gender. Juga problematika ekonomi yang melanda Jepang pada tahun 1989 yang membuat bergesernya nilai-nilai dan tujuan dari yang telah dibangun oleh masyarakat Jepang pasca perang terdahulu.
Walau pergeseran nilai ini sangat terasa pada generasi muda, seperti pada budaya fashion yang mengarah pada shojo dan kawaii [imut/manis], kebingungan tetap melanda masyarakat, mengarah pada pemecahan rekor angka bunuh diri pada seluruh lapisan generasi. Dapat dikatakan bahwa tema-tema apokoliptik mencerminkan akan ekspresi dari pesisme sosial masyarakatnya.
Di Jepang, anime secara umum sudah menjadi salah satu produk budaya modern, lebih daripada di negara lain. Media animasi di Jepang lebih dari sekedar sarana hiburan, tapi juga sebagai sarana ekspresi, provokasi, serta salah satu sumber pemasukan keuangan negara terbesar. Di Jepang, tokoh dari cerita animasi dapat menjadi sebuah ikon dalam bidang lain, seperti Astro Boy yang telah didaulat sebagai ‘duta keselamatan perjalanan’. Pada November 2007, Doraemon ditunjuk untuk berkeliling dunia menjalankan misi promosikan budaya Jepang. Penunjukkan itu dilakukan oleh Menteri Luar Negeri Jepang Masahiko Komura sendiri. Hal itu menunjukkan bahwa Jepang menyadari kekuatan anime dan memanfaatkan sebuah budaya populer sebagai representasi serta media diplomasi bagi negerinya. Tahun 2006, di Jepang diselenggarakan ajang International Manga Award. Pemrakarsanya adalah mantan Menteri luar negeri Jepang Taro Aso, yang juga seorang penggemar komik. Aso bahkan menyamakan penghargaan ini dengan Hadiah Nobel.
Peranan media animasi yang sebesar itu membuat anime-anime Jepang menjadi sangat terbuka terhadap berbagai ide kreatif. Salah satu akibat dari hal itu bisa dilihat dari banyaknya animasi dengan target remaja-dewasa, karena animasi menjadi sarana untuk mengekspresikan berbagai macam masalah sosial.
Lebih jauh lagi, faktor spesifik dimasa kini dan kebudayaan Jepang telah berperan dalam membuat anime fokus pada berbagai macam setting yang gelap, tercermin dalam anime-anime kontemporer. Napier mendiskusikan keterasingan akibat urbanisasi dan gap antar generasi—dua masalah global yang secara khusus terus-menerus ada dalam masyarakat Jepang. Jepang juga menghadapi masalah ekonomi serius sejak kacaunya stok pasar pada 1989, mengarah pada keresahan diantara masyarakat dan meningkatnya angka bunuh diri.
Walaupun mendapat pengaruh dari animasi barat, anime telah berjalan pada jalur yang berbeda: orientasi pada kedewasaan dan kekompleksan hubungan antar makhluk hidup. Suatu hal yang sering diterjemahkan secara kasar dengan mengidentikkan anime dengan hentai
Kesimpulan dan saran
Perdebatan mengenai animasi dengan kategori dewasa muncul karena perkembangan industri hiburan yang melibatkan produsen dan konsumennya. Dalam sudut pandang seni, animasi bisa bergerak dan bereksplorasi dengan bebas, juga dalam pemanfaatan animasi sebagai media propaganda oleh pemerintah. Namun dalam fungsinya sebagai media hiburan yang dikonsumsi keluarga, muncul tren bahwa animasi adalah media yang hanya untuk dinikmati oleh anak-anak atau remaja [hal yang sama juga dialami oleh komik]. Hal tersebut tidak terlepas dari pengaruh/kesan dari “kekartunan” yang dimilikinya. Kartun pada dasarnya bekerja dengan menangkap dan merepresentasikan esensi atau sifat dasar dari suatu hal. Hal tersebut membuat kartun menjadi tampak sederhana. Padahal dalam sudut pandang yang berbeda, justru penyederhanaan tersebut menjadi kekuatan dari kartun, bahwa kartun mengutamakan esensi yang utama dan mengabaikan hal-hal yang tidak penting sehingga penikmat kartun akan menerima suatu hal/sosok yang diwakilkan oleh kartun tersebut dengan mudah. Inilah yang dimaksud dengan penguatan melalui penyederhanaan [amplification trough simplication].
Namun saat animasi dinikmati oleh konsumen awam secara massal, animasi dengan sifat kartunnya tersebut diarahkan untuk dinikmati sebagai hiburan keluarga [hal ini berkaitan dengan penayangan animasi di televisi maupun bioskop]. Dengan potensi komersil yang sangat menguntungkan, animasi-animasi untuk anak-anak menjamur di masyarakat. Dalam lingkungan seperti Indonesia, animasi dituntut untuk dapat memenuhi perannya sebagai media yang dinikmati secara umum dengan memenuhi nilai-nilai moral dan menjalankan peran sebagai sarana untuk pendidikan.
Masalahnya, selain faktor kebudayaan yang menyebabkan nilai-nilai moral tersebut berbeda, pemahaman masyarakat awam sebagai penonton di Indonesia bahwa animasi sebenarnya dapat dinikmati juga oleh orang dewasa hampir tidak ada. Ada ratusan judul animasi impor yang ditayangkan di televisi, bioskop serta diperjualbelikan sebagai home video, dan sebagian besar diantaranya adalah animasi produksi Jepang. Namun penyebaran informasi tentang animasi itu sendiri sangat minim. Padahal justru Jepang, seperti yang telah dipaparkan diatas, adalah negara yang sangat terbuka dalam mengeksplorasi berbagai macam tema dengan media animasi. Hal tersebut bukan diartikan sebagai cermin tidak bermoralnya bangsa Jepang yang memberikan tontonan berat kepada anak-anak, namun memang anime dalam sejarah panjangnya telah berkembang menjadi media untuk berbagai usia. Hasilnya, animasi seperti Crayon Shinchan dikritik karena porno atau nakal dan tidak pantas ditonton anak-anak. Anime Naruto dikritik karena banyak menampilkan kekerasan dan terkadang mengekspos seks. Jangan-jangan pihak distributor maupun stasiun televisi itu sendiri tidak memahami masalah ini. Atau memang masyarakat Indonesia sebenarnya memang tidak membutuhkan animasi-animasi untuk dewasa tersebut? Apakah memang kultur di Indonesia akan selalu menolak hal-hal yang bersifat “dewasa” seperti ini sebagai media populer? Kalau begitu, apakah kelakpun animasi produksi Indonesia akan selalu dibatasi oleh sikap anti kedewasaan ini? (yang, bukan dilandasi oleh perbedaan nilai-nilai budaya, namun karena ketidakpahaman)
Perlu disadari dalam era globalisasi sekarang ini ,penyebaran informasi serta hubungan ekonomi hampir-hampir tidak lagi mengenal batas negara. Anime telah menjadi bagian dari pop culture di seluruh dunia, dan Jepang sendiripun sangat gencar mempromosikan anime. Penyebaran tersebut akan sulit dibendung termasuk di Indonesia. Saat negara-negara lain terjangkiti demam anime, Indonesia pasti akan terbawa arus [dan kemudian timbul pertentangan lagi]. Sekalipun penayangan di televisi maupun bioskop dapat dibatasi oleh sensor, tekhnologi internet maupun distribusi ilegal dapat mengcover hal itu dengan sangat baik sekali.
Kepopuleran anime dan manga Jepang di Indonesia dapat disaksikan siapapun, dan dalam bentuk yang manapun. Sebagai akibatnya, budaya Jepang pun menjadi sebuah tren disini. Disana-sini dapat ditemukan bentuk-bentuk asimilasi budaya Jepang dan Indonesia. Pada akhirnya, sekalipun mendapat tekanan dari pihak-pihak tertentu yang kontra anime, suatu saat nanti pasti akan ada semacam gerakan perlawanan yang mencoba mencari kebebasan dalam berkarya seperti di Jepang. Konflik tidak akan terhindarkan dalam memperdebatkan kelegalan anime-anime dewasa. Sementara banjir anime ini tidak dapat/sulit dibendung. Oleh karena itu cara terbaik yang dapat dilakukan antara lain:
Memperluas pemahaman tentang animasi. Hal ini dilakukan oleh berbagai pihak, dari distributor, pemerintah, maupun institusi pendidikan termasuk IKJ. Hal ini dimaksudkan agar penayangan animasi dilakukan secara tepat dengan target penonton yang tepat. Patut dipahami baik oleh distributor maupun masyarakat sebagai penonton.
Perlu dilakukan suatu cara, agar dominasi anime [dan kebudayaan Jepang yang terkandung didalamnya] tidak sampai mengalahkan identitas Indonesia itu sendiri. Adaptasi tekhnologi animasi itu baik, dan populernya penggunaan gaya artistik manga dibanding gaya nasional [yang entah memang ada atau tidak] masih dapat ditolerir. Tapi jika konsumen [terutama remaja sebagai penikmat anime terbesar di Indonesia] sampai lebih condong kepada budaya Jepang dibandingkan KeIndonesiaannya sendiri, hal itu perlu dikhawatirkan. Perlu disadari bahwa manga dan anime yang masuk ke Indonesia tidak hanya membawa cerita dari negeri timur untuk ditonton, tapi juga membawa suatu keJepangan [yang mau tidak mau perlu diakui bahwa Jepang lebih maju daripada Indonesia, yang mana hal itu dapat membuat penonton yang skeptis terhadap situasi dalam negeri menjadi lebih menyukai Jepang, jika terus menerus mengkonsumsi anime]. Cara yang paling efektif yang terpikirkan adalah dengan para kreator di Indonesia dapat membuat animasi dengan kualitas yang dapat bersaing secara internasional secara berkelanjutan.
Untuk kedepannya, diharapkan juga masyarakat dapat memperluas sudut pandang mengenai bobot dalam sebuah film animasi, dan memahami bahwa dalam perkembangannya kini animasi tidak bisa lagi dipandang sebelah mata sebagai hiburan untuk anak-anak atau sekedar pelengkap bagi film live-action. Melainkan sudah menjadi bentuk yang dapat berdiri sendiri. Dan secara praktik pemahaman tersebut bisa diterapkan dalam cara sebagai berikut:
1. Produksi animasi dalam negeri dapat lebih berani mengeksplor tema-tema yang berat lewat media animasi
2. Bagi kepentingan penyiaran animasi [terutama animasi impor] di televisi, masyarakat maupun pihak-pihak yang berkepentingan dalam menyensor atau mengkritisi dapat memberi penilaian yang tepat. Dalam kenyataannya masih banyak pihak yang mengkritik animasi impor karena tidak sesuai atau tidak pantas ditonton oleh anak-anak. Padahal jika menilik pada rating yang dibuat oleh pembuatnya, animasi-animasi tersebut memang tidak ditargetkan untuk anak-anak, melainkan remaja sampai dewasa. Dengan memahami ini, diharapkan pihak-pihak tersebut tidak lagi memandang animasi secara sempit dan arus animasi dalam penyiaran televisi tidak terhambat hanya karena masalah seperti ini
Pemahaman tersebut tentunya sudah sewajarnya dimiliki, mengingat anime sudah diterima penonton di Indonesia sejak lebih dari 10 tahun yang lalu. Dan sudah saatnya kita sadar akan potensi media gambar bergerak, dalam mempengaruhi masyarakat, termasuk animasi.
Berita Komputer
HOT !!!!
Baru - baru ini, Microsoft merilis Service Pack 3 untuk Windows XP ke publik.
Di dalam SP3 ini berisi berbagai update, hotfix, dan security update.
Jadi bisa dibilang Service Pack adalah sebuah bundel yang mengemas semua perbaikan.
Sewaktu baru menginstal Windows yang tidak memiliki SP terintegrasi,
Anda harus menginstal SP tersebut, sesaat setelah menginstall Windows.
Jika cuma satu komputer tentu tidak masalah, tapi kalau ada 5 komputer 
Sebab Proses Instalasi SP bisa dibilang cukup lama.
Untuk itu ada sebuah teknologi yang bernama slipstream. Melalui Slipstream ini,
CD instalasi Windows akan dimodifikasi atau dibuat ulang dengan menyertakan SP tersebut.
Jadi, nanti setelah diinstal, Windows Anda sudah memiliki SP terbaru di dalamnya.
Bagaimanakah Caranya 
Ikuti Langkah - Langkahnya berikut ini :
Yang Perlu Anda Persiapkan :
1. CD Instalasi Windows XP Original.
2. Windows XP Service Pack 3 yang bisa Anda download di
http://b.tinyurl.com/3f7pm8 dengan ukuran 316 MB.
3. CD Kosong dan CD Writer.
Langkah - Langkah :
1. Setelah Anda mendownload Windows XP Service Pack 3, Ubah nama file SP3 nya
menjadi XPSP3.exe, dan taruh file tersebut di C:.
2. Downloadlah file bernama wxp10.zip dari www.nu2.nu/download.php?sFile=wxp10.zip
dengan file berukuran 4 KB. File ZIP tersebut berisi boot sector dari CD installer
Windows XP. Jika sudah di download, ekstrack ke sembarang tempat, dan di
dalamnya cari file yang bernama w2ksect.bin. Pindahkan file w2ksec.bin ke C:
3. Buat sebuah folder di C: dengan nama XPSETUP. Kemudian copy semua file yang ada di
CD installer XP ke folder XPSETUP. Pastikan tidak ada satu file yang tertinggal
atau tersembunyi.
4. Buka Command Prompt dari menu Start----> Run, di dalam kotak dialog Run ketik cmd
lalu klik OK.
5. Kemudian di dalam Command Prompt, tulis perintah
C:XPSP3 /integrate:C:XPSETUP, lalu tekan enter.
6. File SP3 tersebut akan di Ekstrack kemudian diintegrasikan langsung ke dalam folder
C:XPSETUP
Membakar Installer :
Jika file - file yang ada di folder C:XPSETUP itu langsung kita bakar, maka CD nya nanti
tidak bootable. Oleh karena itu ada beberapa langkah yang harus dilakukan agar CD
tersebut bootable.
1. Downloadlah sebuah freeware bernama ImgBurn 2.4.1.0 dari www.download.com
ketikkan kata ImgBurn pada kotak pencarian search. Installer ini berukuran
1.86 MB. ImgBurn adalah sebuah aplikasi CD/DVD Burner.
2. Buka Notepad, dan buatlah sebuah Script seperti ini :
IBB
[START_BACKUP_OPTIONS]
BuildMode=1
Destination=0
TestMode=0
Verify=1
WriteSpeed=0
Copies=0
FileSystem=1
UDFRevision=0
PreserveFullPathnames=0
RecurseSubdirectories=1
IncludeHiddenFiles=1
IncludeSystemFiles=1
IncludeArchiveFilesOnly=0
AddToWriteQueueWhenDone=0
ClearArchiveAttribute=0
VolumeLabel_ISO9660=HTHSP3
VolumeLabel_Joliet=HTHSP3
VolumeLabel_UDF=
Identifier_System=
Identifier_VolumeSet=
Identifier_Publisher=
Identifier_Preparer=
Identifier_Application=
Dates_FolderFileType=0
Restrictions_ISO9660_InterchangeLevel=2
Restrictions_ISO9660_CharacterSet=1
Restrictions_ISO9660_AllowMoreThan8DirectoryLevels=1
Restrictions_ISO9660_AllowMoreThan255CharactersInPath=1
Restrictions_ISO9660_AllowFilesWithoutExtensions=1
Restrictions_ISO9660_DontAddVersionNumberToFiles=1
Restrictions_Joliet_InterchangeLevel=1
Restrictions_Joliet_AllowFilesWithoutExtensions=1
Restrictions_Joliet_AddVersionNumberToFiles=0
Restrictions_UDF_DisableUnicodeSupport=0
Restrictions_UDF_DVDVideoAllowUnicodeVolumeLabel=0
BootableDisc_MakeImageBootable=1
BootableDisc_MediaEmulationType=0
BootableDisc_BootImageFile=C:w2ksect.bin
BootableDisc_DeveloperIdentifier=
BootableDisc_LoadSegment=07C0
BootableDisc_LoadSectorCount=4
[END_BACKUP_OPTIONS]
[START_BACKUP_LIST]
C:XPSETUP
[END_BACKUP_LIST]
Kemudian simpan dengan nama xpsp3.ibb, dengan terlebih dulu mengubah save as type
menjadi All Files. Kemudian taruh file xpsp3.ibb ini di C:
3. Install ImgBurn seperti biasa.
4. Jalankan ImgBurn, dan pilih menu Mode-----> Build.
5. Kemudian Pilihlah menu File------> Load Project.
Arahkan ke file xpsp3.ibb yang telah dibuat tadi
6. Klik tab device, kemudian pada Write Speed. ganti mendai Speed Terendah untuk
memastikan proses pembakaran yang sempurna.
7. Klik tombol Build yang berada di bagian bawah dengan icon gambar folder berubah menjadi CD.
Bila Ada peringatan Seperti ini :
You've only selected 1 folder
C:XPSETUP
Does the 'XPSETUP' folder represent the root directory for the image content?
( Otherwise, the 'XPSETUP' folder will be visible in the root directory of the image. )
Klik Yes. Begitu juga bila ada semacam info yang menampilkan statistik seperti ini :
7.166 Files, 179 Folders
File System(s) : ISO9660 ( Bootable ), Joliet
Volume Label : HTHSP3
Size : 615.678.749 bytes
Sectors : 304.377
Image Size : 624.852.992 bytes
Image Sectors : 305.104
Klik OK.
8. Setelah itu, proses pembakaran baru akan dimulai. Setelah selesai pembakaran
CD akan dikeluarkan dulu secara otomatis, lalu masuk kembali.
Proses bisa dibilang selesai setelah ada pembertitahuan seperti ini :
Operation Successfully Completed!
SELESAI
NB : Untuk Serial Number Windows XP SP3, saya kurang mengetahui apakah serial numbernya
sama dengan CD Windows yang sebelumnya yang Anda miliki. Untuk itu cobalah mengunakan
serial number yang sama dengan CD Windows lama ( yang belum di integrasikan ) milik
Anda pada saat menginstall ulang dengan SP3. Jika ternyata tidak cocok. Silahkan
Anda cari sendiri pada website penyedia nomor serial number program.
Terima Kasih.....
Sumber : Majalah PC Mild edisi 12/2008 dengan banyak perubahan.